Sabtu, 22 Januari 2011

Euthanasia

EUTHANASIA
Tinjauan dari Segi Medis, Etis, dan Moral


1. Pendahuluan
“Saya tidak hidup. Saya dibuat untuk hidup. Saya tetap hidup. Untuk siapa, untuk apa yang tak saya ketahui, yang saya tahu saya hanyalah mayat hidup!” ratap Vincent Humbert. Kondisi tanpa daya ini membuat Vincent tak mau meneruskan hidupnya. Pada November 2002, ia mengirimkan surat kepada Presiden Prancis, Jacques Chirac, meminta agar ia diberi hak untuk mati. Chirac membalas surat Vincent dan menelponnya ke rumah sakit, menjelaskan bahwa ia tak bisa memenuhi permintaannya itu. Vincent pun akhirnya menyusun rencana kematian bersama ibunya, Marie Humbert. Ia juga menulis buku berisi penjelasan soal kasusnya – dibantu seorang wartawan bernama Frederick Veille.
Kemudian tepat tiga tahun setelah kecelakaan, Vincent dan Marie melaksanakan rencana mereka, Marie menyuntikkan obat penenang dengan dosis berlebih ke pembuluh darah putranya. Hari berikutnya, buku karya Vincent, Jé Vous Demande le Droit de Mourir (Saya Meminta Pada Anda Hak untuk Mati) terbit.
Di Indonesia pun pernah heboh soal euthanasia. Menjelang pengumuman putusan permohonan penetapan euthanasia oleh Hasan Kesuma atas nama istrinya, Agian Isna Nauli oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ketua Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Iskandar Sitorus sebagai kuasa hukum Hasan mengatakan pihaknya sudah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

2. Seputar Euthanasia
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.

Dalam tulisan ini, kita akan berbicara mengenai euthanasia saja. Pertama-tama perlu diklarifikasi arti kata euthanasia itu sendiri. Euthanasia bukanlah pengertian yang jelas dan baku, sebab di balik istilah yang sama ternyata ada pengertian yang berbeda. Perbedaan pengertian ini terjadi dalam perjalanan sejarah. Harus diakui bahwa terkadang terjadi perbedaan persepsi dari kalangan ahli, moralis, medis dengan pihak Gereja sendiri. Setidaknya dengan penelusuran arti euthanasia, kita semakin mampu menangkap apa itu euthanasia menurut Gereja apabila Gereja menolaknya dengan tegas. Pada bagian ini akan dibahas euthanasia dalam tiga segi yaitu arti, sejarah serta macamnya yang ditinjau dari berbagai sudut. Namun harus diperhatikan juga bahwa pembagian euthanasia dalam berbagai istilah tersebut terkadang membingungkan karena masing-masing ahli terkadang mendefinisikan jenis-jenis euthanasia dengan berbeda-beda.

2.1. Arti
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik) dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati dengan mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang baik”. Secara etimologis, euthanasia di zaman kuno berarti kematian yang tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dalam arti aslinya (Yunani) kata ini lebih berpusat pada cara seseorang mati yakni dengan hati yang tenang dan damai, namun bukan pada percepatan kematian.

2.2. Sejarah Euthanasia
Sebenarnya, persoalan euthanasia bukanlah hal yang baru. Sepanjang sejarah manusia, euthanasia sudah diperdebatkan dan dipraktekkan. Sekilas, kita akan melihatnya.

2.2.1. Lingkup Budaya Yunani-Romawi Kuno
2.2.2. Zaman Renaissance
2.2.3. Abad XVII-XX

Dewasa ini, baik di negara-negara Eropa, Amerika Utara maupun Indonesia, perdebatan etis, moral, dan teologis tentang euthanasia semakin marak. Persoalan legalisasi euthanasia pun menjadi tuntutan umum, bahkan euthanasia sudah dilegalkan di Belanda dan Luxemburg. Sementara itu, praktek euthanasia sendiri pun diyakini sudah banyak dilakukan, juga di Indonesia, meskipun secara legal hal itu dilarang.

2.3. Macam-macam Euthanasia
Sebelum kita meninjau persoalan medis, etis, dan teologis, kita perlu mengerti dulu berbagai macam euthanasia. Ada berbagai macam euthanasia

2.3.1. Dari Sudut Cara/Bentuk
Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat dibedakan dalam tiga hal:
a. Euthanasia aktif, artinya mengambil keputusan untuk melaksanakan dengan tujuan menghentikan kehidupan. Tindakan ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, melakukan injeksi dengan obat tertentu agar pasien terminal meninggal.
b. Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan atau tidak melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien. Misalnya, terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada alat ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi yang telah dimulai dan sedang berlangsung.
c. Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan

2.3.2. Dari Sudut Maksud (Voluntarium)
Dari sudut maksud, euthanasia dapat dibedakan:
a. Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada kematian.
b. Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak langsung untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya meringankan penderitaan.

2.3.3. Dari Sudut Otonomi Penderita
Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam tiga jenis:
a. Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompetent).
b. Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang lain (transmitted judgement).
c. Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted judgement).

2.3.4. Dari Sudut Motif dan Prakarsa
Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua:
a. Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang meminta agar hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena sebab lain.
b. Prakarsa dari pihak luar; artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu misalnya keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban atau belas kasih. Bisa juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi tertentu atau kepentingan yang lain.

2.4. Beberapa Aspek Euthanasia
2.4.1. Aspek Hukum
Undang undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.
Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, dan 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata








2.4.2. Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

2.4.3. Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

2.4.4. Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ahli-ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat, dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan.

2.5. Cara-cara Euthanasia
Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:
a. Langsung dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.
b. Sukarela tetapi tidak langsung: pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya.
c. Langsung tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.
d. Tidak langsung dan tidak sukarela: merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral.


Indonesia. Berdasarkan hukum di Indonesia, euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, melawan Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana: ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”, dan pasal 345, ““Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”


2.6. Pandangan Agama Islam

Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS 2:195), dan dalam ayat lain disebutkan, “Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4:29). Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.

Islam membedakan dua macam euthanasia, yaitu:
a. Euthanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (euthanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit –karena kasih sayang– yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Euthanasia positif dilarang sebab tujuan tindakan adalah pembunuhan atau mempercepat kematian. Tindakan ini dikategorikan sebagai pembunuhan dan dosa besar.

b. Euthanasia negatif
Euthanasia negatif disebut taisir al-maut al-munfa’il. Pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan. Pasien dibiarkan begitu saja karena pengobatan tidak berguna lagi dan tidak memberikan harapan apa-apa kepada pasien. Pasien dibiarkan mengikuti saja hukum sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

3. Pro dan Kontra Euthanasia
Masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Ada sebagian orang yang menyetujui euthanasia ini. Sebagian pihak lain menolaknya. Dalam hal ini tampak adanya batasan karena adanya sesuatu yang mutlak berasal dari Tuhan dan batasan karena adanya hak asasi manusia. Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan memperoleh suatu kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Secara sederhana, perdebatan euthanasia dapat diringkas sbb: atas nama perhormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Apakah pengakhiran hidup macam itu bisa dibenarkan?

3.1. Pro Euthanasia
Kelompok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan, dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompk ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi, tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien.

3.2. Kontra Euthanasia
Setiap orang menerima prinsip nilai hidup manusia. Orang-orang tidak beragama pun, yang tidak menerima argumen teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa hidup manusia itu sangat berharga dan harus dilindungi. Mereka setuju bahwa membunuh orang adalah tindakan yang salah. Bagi mereka, euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung. Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita tersebut. Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati.


4. Penutup
Sampai saat ini, euthanasia masih menjadi perdebatan dalam hidup umat manusia. Ada yang bersikap pro dan ada yang bersikap kontra terhadap euthanasia. Beberapa negara bahkan sudah melegalkan dan mengatur praktek euthanasia. Gereja sendiri secara tegas menolaknya dalam berbagai kesempatan. Ajaran Gereja selalu menolak pelaksanaan euthanasia. Declaration on Euthanasia (1980), Ensiklik Evengelium Vitae (1995), dan Katekismus Gereja Katolik (1997) dengan tegas menolak euthanasia. Euthanasia merupakan perlawanan terhadap martabat pribadi manusia dan hormat kepada Allah Sang Pemberi Hidup. Gereja Katolik selalu menekankan kesucian hidup manusia, penghargaan terhadap martabat pribadi manusia dan hormat kepada Allah. Euthanasia merupakan kejahatan melawan kehidupan.